BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan kegiatan perekonomian dan
teknologi, semakin berkembang pula kejahatan-kejahatan di bidang perekonomian.
Salah satu kejahatan di bidang perekonomian yang sering terjadi adalah kejahatan
korporasi. Dalam dunia perekonomian, korporasi dianggap sebagai suatu badan
hukum yang dapat memberikan keuntungan pribadi tanpa perlu adanya
pertanggung-jawaban. Namun banyak sekali oknum yang memanfaatkan korporasi
sebagai alat untuk melakukan kejahatan-kejahatan di bidang perekonomian.
Di Indonesia banyak sekali kasus-kasus kejahatan korporasi
yang telah menyebabkan banyaknya kerugian dan kerusakan, tetapi anehnya hukuman
atas tindakan tersebut selalu terabaikan padahal banyak sekali bukti-bukti yang
menunjukan kejahatan korporasi tersebut. Banyak perusahaan yang menganggap
rendah keberadaan hukum, mereka dengan sengaja bahkan berulang-ulang melakukan
pelanggaran terhadap hukum yang berlaku dan dengan mudahnya dapat terbebas dari
tuntutan hukum tersebut.
Masyarakat menilai banyaknya kejahatan korporasi di
Indonesia memiliki dampak yang sangat besar dan luas, karena kejahatan
korporasi dianggap lebih merugikan dibandingkan kejahatan-kejahatan lainnya.
Kejahatan korporasi di Indonesia banyak sekali contohnya,
namun yang akan dibahas kali ini adalah “Kejahatan Korporasi di Bidang
Perpajakan (Studi Kasus pada PT. Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas)”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah yang disajikan
dalam beberapa pertanyaan yaitu:
1. Hal
apakah yang menjadi penyebab perusahaan melakukan kejahatan korporasi?
2. Apa
dampak dari kejahatan korporasi yang dilakukan oleh perusahaan?
BAB II
LANDASAN TEORI
Kejahatan
Korporasi
Kejahatan merupakan suatu tindakan tercela yang dilakukan
oleh individu ataupun kelompok, sedangkan korporasi merupakan suatu badan hukum
yang didirikan oleh hukum itu sendiri yang memiliki hak dan kewajiban. Jadi,
kejahatan korporasi adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang
dapat dikenakan sanksi.
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau
corporate crime adalah tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan oleh
karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas
pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), yang
sering juga disebut sebagai “white collar crime” (kejahatan kerah putih).
Sally.
A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan
korporasi adalah perilaku sebuah korporasi atau para pegawainya atas nama
korporasi, dimana perilaku tersebut dilarang dan patut dihukum oleh hukum.
Simpson juga menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite
mengenai kejahatan korporasi, yaitu:
1. Tindakan
ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas
sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang
digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum
pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
2. Baik
korporasi (sebagai subyek hukum perorangan) dan perwakilannya termasuk sebagai
pelaku kejahatan, dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain
kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
3. Motivasi
kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi,
melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional.
Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional
(internal) dan sub-kultur organisasional.
B. Clinard & Peter C. Yeager menyatakan setiap
tindakan korporasi yang biasa, dimana diberi hukuman oleh negara entah di bawah
hukum administrasi negara, hukum perdata, atau hukum pidana. Kejahatan
Korporasi merupakan bagian dari kejahatan kerah putih, namun lebih spesifik.
Merupakan kejahatan ter-organisasi dalam hubungan yang kompleks dan mendalam
antara seorang pimpinan eksekutif dan manager dalam suatu tangan. Dapat juga
berbentuk sebagai perusahaan keluarga, namun tetap dalam kejahatan kerah putih.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Artikel
MetroTVnews.com: “Polisi Bidik Tindak Pidana Korporasi Kasus Restitusi Pajak”
Tim Penyidik Direktorat Tindak
Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri membidik pidana korporasi terhadap PT
Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas (SAIPK). PT SAIPK merupakan perusahaan
wajib pajak yang menyuap dua pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Denok
Tavi Periana dan Totok Hendrianto. Keduanya dinonaktifkan per Desember 2012.
"Kami
masih melakukan pengkajian untuk mengajukan korporasinya dalam kejahatan
korporasi. Perusahaan sebagai pelaku tindak pidana," kata Direktur
Tipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Arief Sulistyono di Mabes Polri,
Jakarta, Jumat (8/11).
Menurut
dia, upaya ini dilakukan karena uang hasil restitusi pajak PT SAIPK digunakan
untuk menyuap pegawai Ditjen Pajak yang menangani perpajakan PT SAIPK. Namun
demikian, jika nantinya PT SAIPK sebagai korporasi terbukti melakukan tindakan
pidana, pertanggung jawaban dilimpahkan pada pimpinan yang saat itu memimpin
perusahaan.
Selain
itu, penyidik juga membidik perusahaan-perusahaan lain yang penanganan pajaknya
dilakukan Totok dan Denok. Penelusuran dilakukan melalui dokumen-dokumen pajak
yang telah diberikan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
"Kami
sedang mempelajari dokumen-dokumen dari kantor pajak, sasarannya wajib pajak
lain yang ditangani dua tersangka ini, yang mungkin memperoleh restitusi pajak
dengan cara yang sama," kata Arief menjelaskan.
Arief
menambahkan, berkas perkara tersangka Totok dan Denok telah rampung digarap tim
penyidik. Rencananya, minggu depan berkas keduanya akan dilimpahkan ke
Kejaksaan Agung.
"Berkas
perkara Totok dan Denok sudah selesai, akan kami kirimkan Selasa atau Rabu
depan,"imbuhnya.
Denok
Tavi Periana dan Totok Hendrianto ditangkap tim penyidik Dittipid eksus
Bareskrim Polri pada 21 Oktober lalu. Keduanya hingga saat ini masih meringkuk
di Tahanan Bareskrim Polri. Keduanya diduga sebagai penerima suap Rp1,6 miliar
dari Komisaris PT SAIPK atas nama Berty yang juga ditetapkan sebagai tersangka.
Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp21 miliar dari jumlah restitusi yang
dicairkan.
Ketiganya,
disangkakan melanggar pasal 5, 11, 12 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan
pasal 3 dan 6 undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
3.2 Artikel Detik.com:
“Kasus Suap Pejabat Pajak, Polisi Bidik Kejahatan Perusahaan”
Polisi
terus mendalami dugaan suap restitusi dan kejahatan pencucian uang yang
dilakukan dua pegawai pajak Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno. Polisi
juga tengah membidik kejahatan korporasi atau perusahaan dalam kasus tersebut.
"Kami
mengkaji korporasinya sebagai pelaku kejahatan. Artinya perusahaannya jadi
pelaku kejahatannya, karena rupanya uang untuk menyuap itu dari restitusi
pajak," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipid Eksus) Bareskrim
Polri, Brigjen Pol Arief Sulistyanto, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat
(8/11/2013).
Polisi
juga menelaah wajib pajak lainnya yang ditangani oleh kedua tersangka. Hal ini
untuk melihat dugaan kejahatan dengan modus serupa seperti yang dilakukan kedua
pegawai pajak tersebut dengan PT SAIPK.
Kasus
tersebut diketahui pada 2010 lalu dari adanya dugaan pelanggaran administrasi
restitusi pajak PT SAIPK dari tahun 2004 hingga 2007. Itjen Kemenkeu
selanjutnya mendapatkan laporan dari PPATK terkait transaksi mencurigakan yang
melibatkan Denok dan Totok.
Inspektorat
Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan menemukan adanya transaksi mencurigakan
dari keduanya sebesar Rp 600 juta. Namun, seiring dengan pemeriksaan internal
Kemenkeu, polisi menemukan transaksi mencurigakan senilai Rp 1,6 miliar.
Transaksi
tersebut merupakan pelicin pengurusan restitusi dari wajib pajak Surabaya Agung
Industri Pulp & Kertas (SAIPK) senilai Rp 21 miliar, terhitung dari tahun
2004 hingga 2007.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan PT. Surabaya Agung Industri
Pulp dan Kertas (SAIPK) yang merupakan perusahaan wajib pajak melakukan
tindakan kriminal berupa penyuapan uang hasil restitusi pajak perusahaan tersebut,
kepada dua pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Penyuapan uang ini
dilakukan, sebagai uang pelicin pengurusan restitusi dari wajib pajak PT. SAIPK
senilai Rp 21 miliar yang terhitung mulai dari tahun 2004 hingga 2007. Dampak
dari tindakan kejahatan ini adalah negara dirugikan sebesar Rp21 miliar dari
jumlah restitusi yang dicairkan.
4.2 Saran
Dalam
menjalankan suatu usaha, perusahaan seharusnya tidak melakukan kejahatan
korporasi karena akan merugikan banyak pihak bahkan negara juga akan dirugikan.
Sebagai wajib pajak seharusnya perusahaan membayar pajak sesuai dengan aturan
hukum pajak yang berlaku, jangan hanya mementingkan keuntungan sendiri saja
tetapi juga harus memperhatikan etika-etika dalam berbisnis. Kemudian
perusahaan-perusahaan yang melakukan kejahatan korporasi agar diberikan sanksi
yang berat dan tegas agar tidak terulang kembali kejahatan-kejahatan korporasi
lainnya di Indonesia.
#SUMBER
REFERENSI:
http://boetarboetarzz.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar